7 Fakta Kekejaman Jepang Terhadapan Rakyat Indonesia Dalam Masa Penjajahan
Fakta Nyata – Kedatangan Jepang pada akhir 1941 mengawali penjajahannya atas Indonesia. Meski menjajah dalam waktu singkat, yakni antara 1942 hingga 1945, Jepang memerintah dengan sangat kejam. Beberapa fakta kekejaman Jepang selama di Indonesia adalah adanya romusha hingga Genosida Mandor di Kalimantan Barat.
Walaupun masa pendudukan Jepang relatif singkat, yakni 3,5 tahun, mereka berhasil mengubah mimpi buruk menjadi nyata. Pemerintah dan tentara Jepang memimpin dengan begitu kejam dan merenggut banyak hal, padahal mereka mengaku akan memberikan kemerdekaan di awal kedatangannya.
Selain itu kedatangan Jepang juga berpengaruh besar, dalam artian yang baik dan buruk. Dampak baiknya, mereka berhasil mengusir Belanda yang telah menduduki Indonesia selama tiga abad. Namun kabar buruknya, Jepang memiliki caranya tersendiri untuk menjajah bangsa kita. Berikut ini sejumlah fakta kekejaman Jepang terhadap rakyat Indonesia selama masa penjajahan :
1. Tragedi Mandor Berdarah, pembantaian massal Jepang di Kalimantan
Pembantaian yang paling tak terlupakan di masa penjajahan Jepang adalah Tragedi Mandor Berdarah yang terjadi di Mandor, Kalimantan Barat. Peristiwa ini terjadi pada 28 Juni 1944.
Diawali dengan rasa benci rakyat yang memuncak terhadap Jepang, muncullah sebuah kelompok antifasisme. Mereka berencana untuk berpura-pura kerja sama dengan pemerintah Jepang. Kelompok tersebut terdiri dari generasi unggulan Kalimantan, mulai dari cendekiawan, politisi, tokoh agama, dan lain sebagainya.
Jepang pun mengakomodasinya dengan membentuk Nissinkai, organisasi politik yang bertujuan untuk mendukungnya. Namun tokoh di dalamnya diam-diam memata-matai pergerakan Jepang untuk melakukan serangan balik.
Sayangnya, gerakan bawa tanah mereka ketahuan. Semua tokoh Nissinkai, keluarga, kerabat, dan siapa pun yang terlibat di dalamnya diciduk. Dengan mata tertutup dan tangan terikat, mereka dibawa ke tempat tersembunyi dan dibunuh dengan cara dipenggal atau ditembak mati. Tercatat korban peristiwa ini mencapai ribuan orang yang terdiri atas generasi unggulan Kalimantan Barat.
2. Merampas hak rakyat
Kedatangan Jepang dibarengi dengan propaganda Tiga A, yakni Jepang Cahaya, Pemimpin, dan Pelindung Asia. Selain itu, Jepang juga mengaku sebagai saudara tua dari Indonesia. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan simpati dari rakyat pribumi. Akan tetapi, setelah menduduki Indonesia, tentara Jepang kemudian mengambil berbagai kebutuhan dari rakyat, seperti makanan, obat-obatan, bahkan pakaian pun hilang dari peredaran.
Akibatnya, rakyat pun sangat menderita. Mereka terpaksa makan seadanya dan mengenakan karung goni sebagai alat penutup tubuh. Belum lagi jika sakit, tak ada obat yang bisa diakses, sehingga rakyat menggunakan tumbuh-tumbuhan herbal seadanya.
3. Menyiksa dan membiarkan tahanan mati kelaparan
Seakan penjara yang dibuatnya tak cukup menyiksa, para penjajah Jepang juga terkenal sering membiarkan tahanannya mati kelaparan. Para sipir dengan sengaja tidak memberikan makanan kepada tahanan selama berhari-hari.
Ketika diberi pun, makanan tersebut tidak cukup untuk memenuhi nutrisi yang diperlukan. Ini terjadi karena penjajah Jepang menganggap penjara adalah tempat untuk menyiksa, bukan hanya menahan. Maka tak heran jika banyak tahanan yang mati sebelum dieksekusi.
Belum lagi, tahanan juga sering mendapatkan siksaan dari Kempeitai, polisi militer Jepang yang sangat sadis. Mereka tak ragu mengeluarkan berbagai metode untuk menyiksa orang. Mulai dari mencambuk, menggantung tubuh secara terbalik, memukul dengan pentungan logam, dan lain sebagainya.
4. Membangun penjara-penjara yang tidak manusiawi
Jepang juga terkenal dengan penjara-penjaranya yang tak kenal ampun dan tidak manusiawi. Salah satu contohnya adalah penjara bawah tanah yang ada di Lawang Sewu, Semarang, Jawa Tengah.
Bangunan tersebut awalnya dibuat oleh pemerintah Belanda untuk kantor kereta api. Namun saat Jepang menguasai Indonesia, ia dialihfungsikan menjadi penjara. Terdapat dua macam penjara yang terkenal di Lawang Sewu, yakni penjara jongkok dan berdiri.
Penjara jongkok dibuat seperti bak dengan tinggi 50 sentimeter. Para tahanan harus jongkok di dalamnya. Seakan tak cukup kejam, bak tersebut diisi air yang mencapai leher lalu ditutup dengan besi.
Sementara penjara berdiri dibuat dengan ukuran 1 x 1 meter. Ruangan tersebut biasanya diisi oleh delapan orang. Para tahanan yang berasal dari pribumi maupun warga Belanda harus berdiri berdesak-desakan di dalamnya.
5. Menjadikan rakyat kelinci percobaan virus dan bakteri
Tak banyak yang tahu bahwa penjajah Jepang juga menggunakan senjata biologis untuk upaya memenangkan Perang Dunia II. Metode ini disebut sebagai operasi Unit 731 yang memiliki laboratorium di Harbin, Tiongkok.
Mereka sering melakukan uji coba obat kimia, virus, dan bakteri terhadap manusia. Misalnya dengan menyuntikkan bakteri sifilis kepada wanita hamil, meledakkan bom untuk melihat efeknya pada manusia, membedah tahanan tanpa bius, dan lain-lain.
Walaupun menurut sejarah, orang Tiongkok yang sering menjadi “kelinci percobaannya”, banyak ahli yang mengatakan bahwa Indonesia juga tak luput dari sasaran Unit 731. Dilansir Historia, salah satunya terjadi di markas romusha Klender, Jakarta.
Sekitar tahun 1942-1943, ratusan pekerja paksa tiba-tiba ditemukan dalam kondisi yang kritis dan menunjukkan gejala tetanus. Hal yang sama ditemukan pada romusha Surabaya dan Kalimantan. Diduga Unit 731 terlibat ketika para tentara memberikan injeksi imunisasi kepada romusha.
6. Menjadikan para perempuan sebagai budak seks atau Jugun Ianfu
Jugun Ianfu merupakan istilah yang diberikan untuk memanggil para perempuan yang dijadikan budak pelacuran paksa untuk tentara Jepang. Korbannya mayoritas berasal dari Korea, Malaysia, Tiongkok, dan tak terkecuali Indonesia.
Perempuan-perempuan itu dijemput paksa dari keluarganya dan ditempatkan dalam sebuah rumah yang disebut sebagai “rumah bordil”. Tujuannya adalah untuk mempermudah tindak perkosaan di setiap wilayah yang didiami oleh tentara Jepang. Di dalamnya, tak hanya perempuan Indonesia, mereka juga menahan perempuan keturunan Tiongkok, Belanda, Prancis, dan Portugis.
Para tentara akan datang setiap harinya untuk memperkosa mereka. Bahkan mereka juga tak ragu memukul, menampar, dan bahkan menikamnya hingga mati ketika perempuan itu melawan. Suntik kontrasepsi yang tidak dilakukan secara steril juga sering dilakukan agar para Jugun Ianfu tidak hamil.
Dilansir BBC, tak terbayangkan betapa buruknya perlakuan tentara Jepang terhadap Ianfu hingga mayoritas dari mereka mengalami kerusakan rahim. Pemerintah Jepang disebut-sebut telah meminta maaf akan kejadian dalam Perang Dunia II ini. Namun hal itu tentu tidak sebanding dengan luka fisik dan mental yang dibawa para penyintas Ianfu seumur hidupnya.
7. Romusha, kerja paksa ala Jepang
Bukti kekejaman Jepang yang paling terkenal adalah romusha. Mereka memaksa rakyat, terutama para petani, untuk mengerjakan berbagai hal. Mulai dari terjun ke medan perang, membangun berbagai benteng, penjara, dan lain sebagainya.
Para pekerja romusha direkrut dengan paksa. Setiap kepala daerah harus menyetorkan data laki-laki usia produktif, setelah itu mereka akan dipanggil untuk menjadi romusha. Saat panggilan datang, keluarga harus merelakan mereka, karena sering kali para pekerja tersebut tidak kembali lagi ke rumahnya.
Setelah menjadi romusha, mereka akan diberi pakaian “seragam” berupa karung goni yang berkutu. Setiap hari para pekerja paksa itu harus melakukan tugas yang berat tanpa istirahat dan makanan yang cukup. Tubuh mereka pun kurus dan lemah, namun tetap harus bekerja dengan berat.
Para tentara Jepang pun mengawasinya setiap waktu. Cambuk, pentungan logam, dan berbagai senjata siap untuk diayunkan kapan saja ketika ada romusha yang melawan, berusaha melarikan diri, atau mencuri waktu istirahat.